PENGANTAR DAN KONSEP DASAR PERBANKAN SYARIAH
(Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Lembaga Instrumen dan Keuangan Syariah)
Jurusan/semester/kelas : PS/IV/D
Dosen Pengampu: Muhammad Kurniawan, S.E.,M.E.sy
Disusun oleh :
1. Melisa
Rani (1551020220)
2. Raniza
Fatonah (1551020264)
3. Sela
Wani (1551020300)
4. Vivi
Avriani P (1551020323)
JURUSAN
PERBANKAN SARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1438
H/2017 M
KATA
PENGANTAR
Segala puji hanya milik
Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun
mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi
tugas mata kuliah Lembaga Instrumen dan Keuangan Syariah .
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak
sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan
orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat
memperluas ilmu tentang pengantar dan konsep dasar perbankan syariah, yang kami
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan
berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu
yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang
lebih luas tentang pengantar dan konsep dasar perbankan syariah. kami sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk
itu, kepada dosen pembimbing saya meminta
masukannya demi perbaikan pembuatan makalah
saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca.
Bandar Lampung, 22 Maret 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
Cover
Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................1
1.3 Tujuan...............................................................................................................1
BAB II ISI
2.1 Sejarah Bank Syariah......................................................................................2
Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................1
1.3 Tujuan...............................................................................................................1
BAB II ISI
2.1 Sejarah Bank Syariah......................................................................................2
2.2 Produk-Produk Bank
Syariah........................................................................4
2.3 Perkembangan Bank
Syariah.......................................................................13
2.4 Permasalahan Bank Syariah.........................................................................22
2.5 Analisis............................................................................................................27
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................29
2.4 Permasalahan Bank Syariah.........................................................................22
2.5 Analisis............................................................................................................27
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ekonomi syariah adalah ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari perekonomian masyarakat yang dilandasi
nilai-nilai islam. Ekonomi syariah berbeda dengan ekonomi kapitalisme,
sosialisme, mauoun negara kesejahteraan. Kegiatan ekonomi syariah tidak luput
dari lembaga perbankan syariah yang memiliki peran penting dalam mendukung
kegiatan ekonomi syariah.
Dalam ushul fiqh, ada kaidah
yang menyatakan bahwa “maa laa yatimm al-wajib illa fa huwa wajib”, yakni
sesuatu yang harus ada menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib di adakan.
Mencari nafkah (kegiatan ekonomi) adalah wajib. Dan karena pasa zaman modern
ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan,
lembaga perbankan ini pun wajib diadakan. Dengan demikian, maka kaitan antara
islam dengan perbankan manjadi jelas. Si samping itu, kita mengetahui bahwa
islamtelah mengatur segala kegiatan manusia termasuk kegiatan berekonomi di
dalam Al-Qur`an dan Al-hadist.
1.2 RUMUSAN MASALAH
2.
Bagaimana sejarah bank syariah ?
3.
Apa sajakah produk-produk bank syariah ?
4.
Bagaimana perkembangan bank syariah ?
5.
Apa yang menjadi permasalahan bank syariah ?
1.3 TUJUAN
2. Mengetahui
dan memahami sejarah bank syariah.
3. Mengetahui
dan memahami produk-produk bank syariah.
4. Mengetahui
dan memahami perkembangan bank syariah.
5. Mengetahui
dan memahami permasalahan bank syariah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Bank Syariah
2.1.1
Praktik
Perbankan di Zaman Rasulullah Saw dan Sahabat Ra
Secara umum, bank
adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan
uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah
perekonomian umat islam, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai
dengan syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat islam sejak zaman
Rasulullah Saw. Praktik-praktik seperti menerima titipan harta, meminjamkan
uang untuk keperluan konsumsi dan keperluan bisinis, serta melakukan pengiriman
uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah Saw. Dengan demikian,
fungsi-fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima deposit, menyalurkan dana,
dan dapat melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan umat islam, bahkan sejak zaman Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw yang
dikenal sebagai julukan Al-Amin, dipercaya oleh masyarakat mekah menerima
simpanan harta, sehingga pada saat terkahir sebelum hijrah ke Madinah, ia
meminta Ali bin Abi Thalib r.a untuk mengembalikan semua titipan itu kepada
para ppemiliknya. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat
memanfaatkan harta titipan.
Seorang sahabat
Rasulullah Saw. Zubair bin Al-Awwam r.a, memilih tidak menerima titipan harta.
Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan zubair ini
menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni pertama, dengan mengambil uang
pinjaman, ia mempunyai hak memanfaatkannya; kedua, ia berkewajiban untuk
mengembalikannya secara utuh. Dalam riwayat yang lain, yang disebutkan, Ibnu
Abbas r.a juga pernah melakukan pengiriman uang ke kufah dan Abdullah bin
Zubair r.a melakukan pengiriman uang dari Makkah ke adiknya Mis`ab bin Zubair
r.a yang tinggal di Irak.
[1]Penggunaan
cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara
negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali dalam setahun.
Bahkan, pada masa pemerintahannya, khalifah Umar bin Khatab menggunakan cek
untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini,
mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu di impor dari Mesir. Di
samping itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti
mudharabah, muzara`ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum
Muhajirin dan kamu Anshar.
Dengan demikian, jelas
bahwa terdapat individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di
zaman Rasulullah Saw, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh
fungsi perbankan. Ada sahabat yang telah melaksanakan fungsi menerima titipan
harta, ada sahabat yang telah melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada
yang melaksanakan fungsi peniriman uang, dan adapula yang memberikan modal
kerja.
2.1.2
Sejarah
Perbankan Syariah di Berbagai negara
Sejarah awal mula
kegiatan bank syariah yang pertama sekali dilakukan oleh Pakistan dan Malaysia
pada sekitar tahun 1940-an. Kemudian di Mesir pada tahun 1963 berdiri Islamic
Rutal Bank di desa It Ghamr Bank. Bank ini beroperasi di pedesaan Mesir dan
masih berskala kecil.
Di Uni Emirat Arab,
baru pada tahun 1975 dengan berdirinya Dubai Islamic Bank. Kemudian di Kuwait
pada tahun 1977 berdiri Kuwait Finance House yang beroperasi tanpa bunga.
Selanjutnya kembali di Mesir pada tahun 1978 berdiri Bank Syariah yang diberi
nama Faisal Islamic Bank. Langkah ini kemudian diikuti oleh Islamic
International Bank for Invesment and Development Bank.
Di Siprus tahun 1983
berdiri Faisal Islamic Bank of Kibris. Kemuadian di Malaysia Bank Syariah lahir
tahun 1983 dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan pada tahun
1999 lahir pula Bank Bumi Putera Muamalah.
Di Iran sistem
Perbankan Syariah mulai berlaku secara nasional pada tahun 1983 sejak
dikeluarkannya Undang-undang Perbankan Islam. Kemudian di Turki negara yang berideologi
sekuler Bank Syariah lahir pada tahun 1984 yaitu dengan hadirnya dasae Al-Maal
Al-Islami serta Faisal Finance Institution dan muali beroperasi tahun 1985.
Salah satu pelopor
utama dalam melaksanakan sistem Perbankan Syariah secara nasional adalah
Pakistan. Pemerintah Pakistan mengkonversi seluruh sistem perbankan di
negaranya pada tahun 1985 menjadi sistem perbankan syariah. Sebelunya pada
tahun 1979 beberapa institusi keuangan terbesar di Pakistan mensosialisaikan
pinjaman tanpa bunga, terutama kepada petani dan pelayan.
2.1.3
Sejarah
Perbankan Syariah di Indonesia
Di Indonesia, bank
syariah yang pertama didirikan pada tahun 1990-an adalah Bank Muamalat
Indonesia (BMI), yang merupakan hasil kerja tim perbankan MUI, dimana akte
pendiriannya ditandatangani tanggal 1 November 1991. Bank ini ternyata
berkembang cukup pesat sehingga saat ini BMI sudah meliliki puluhan cabang yang
tersebar di beberapa kota besar.
Dalam perkembangan
selanjutnya kehadiran Bank Syariah di Indonesia khususnya cukup menggembirakan.
Di samping BMI, saat ini juga telah lahir Bnak Syariah milik pemerintah seperti
Bank Syariah Mandiri (BSM). Kemudian berikutnya berdiri Bank syariah dari
cabang konvensional yang sudah ada, seperti Bank BNI, Bank IFI, dan BPD jabar,
Bank BRI, Bank Bukopin.
2.2 Produk-produk Bank Syariah
Produk yang ada di
terdapat di Perbankan Syariah adalah menghimpun dana, menyalurkan dana, dan
memberikan jasa pengiriman uang. Yang sangat berbeda denganbank umum lainnya
yang bersifat konvensional menjalankan uasahanya atas pendapatan bunga.
Sedangkan bank syariah menggunakan peinsip-prinsip yang diperbolehkan syariat
Islam, prinsip syariat Islam yang diterapkan dalam[2]
perbankan syariah terbagi menjadi tiga bagian yaitu : Sistem bagi hasil, sistem
jual beli dengan margin keuntungan, dan sistem jasa (fee).
2.2.1
Produk
Penyaluran Dana Bank Syariah
Dalam menyalurkan
dananya pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi
dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu :
pembiayaan dengan prinsip jual-beli, pembiayaan dengan prinsip sewa, pembiayaan
dengan prinsip bagi hasil, Pembiayaan dengan prinsip jual-beli ditujukan untuk
barang, sedangkan yang menggunakan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan
jasa. Prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerja sama. Pada kategori
pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di awal dan menjadi
bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam
kelompok ini adalah produk yang menggunaan prinsip jual beli seperti Murabahah,
Salam, dan Istishna, serta produk yang menggunakan prinsip sewa, yaitu Ijarah
dan IMBT.
Sedangkan pada kategori
ketiga tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai
dengan prinsip bagi-hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh
nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk perbankan yang teermasuk
kedalam kategori ini adalah Musyarakah dan Mudharabah. Sedangkan pembiayaan
dengan akad pelengkap ditujukan untuk memperlancar pembiayaan dengan
menggunakan tiga prinsip di atas. Dari sisi akad yang digunakan dalam
penyaluran pembiayaan, bank syariah memiliki banyak variasi akad yang
diperbolehkan, yang meliputi :
1. Murabahah
(04/DSN-MUI/IV/2000) dengan akad murabahah;
2. Jual
Beli Salam (05/DSN-MUI/IV/2000) dengan akad salam, juga salam paralel dengan
syarat, akad kedua terpisah, dan tidak berkaitan dengan akad pertama;
3. Jual
Beli Istishna (06/DSN-MUI/IV/2000) dengan akad istishna;
4. Pembiayaan
Mudharabah (07/DSN-MUI/IV/2000) dengan akad mudharabah;
5. Pembiayaan
Musyarakah (08/DSN-MUI/IV/2000) dengan akad musyarakah;
6. Pembiyaan
Ijarah (09/DSN-MUI/IV/2000) dengan akad ijarah;
7. Qardh
(19/DSN-MUI/IV/2000) dengan akad qardh;
8. Istisna
Paralel (22/DSN-MUI/III/2002) dengan akad istisnha;
9. IMBT
(27/DSN-MUI/III/2002) dengan akad ijarah terlebih dahulu, kemudian akad bai`
atau hibah, hanya dapat dilakukan dengan masa ijarah selesai;
10. Pembiyaan
Pengurusan Haji (29/DSN-MUI/IV/2002) dengan akad ijarah atau membantu menalangi
pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip qardh;
11. Pembiyaan
Rekening Koran Syariah (30/DSN/VI/2002) dengan akad wakalah dan wa`ad;
12. Pembiayaan
Multijasa (44//DSN-MUI/VIII/2004) dengan akad ijarah atau kafalah;
13. Line
Facility (45/DSN-MUI/II/2003) dengan akad murabahah, istisna,
mudharabah,musyarakah dan ijarah;
14. PRKS
Musyarakah (55/DSN-MUI/V/2007) dengan akad musyarakah dan boleh disertai dengan
wa`ad;
15. Musyarakah
Mutanaqisah (73/DSN-MUI/XI/2008) dengan akad musyarakah/syirkah dan bai;
16. Sale
and Lease Back (71//DSN-MUI/IVII/2008) dengan ba`i dan ijarah yang dilaksanakan
secara terpisah;
17. Murabahah
Emas (77/DSN-MUI/V/2010) dengan akad murabahah MUI membolehkan selama emas
tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang) dan;
18. Refinancing
Syariah (89//DSN-MUI/XII/2013) degan berbagai skema akad, yaitu 1) akad
musyarakah mutanaqishah; 2) akad al-bai` wa al-isti`jar, dan 3) akad al-bai`
dalam rangka musyarakah mutanaqishah.[3]
2.2.1.1 Prinsip
Jual Beli (Ba`i)
a. Pembiayaan
Bai`al-Murabahah
Bai`al-Murabahah
merupakan pembiayaan dana dari pemilik modal LKS maupun Bnank Syariah kepada
nasabah untuk memebeli barang dengan menegaskan harga belinya barang dan pembeli
(nasabah) akan membayarnya dengan harga yang lebih, sebagai keuntungan pemilik
modal sesuai yang disepakati bersama. Harga tidak boleh berubah sepanjang akad
dan apabila terjadi kesulitan membayar, dapat dilakukan restrujrurisasi dan
kalau tidak membayar karena lalai dapat dikenakan denda.
Kedua belah pihak harus
menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan
dalam akad beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya
akad. Dalam perbankan, Murabahah selalu dilakukan dengan cara pembayaran
cicilan (bi tsaman ajil, atau muajjal). Murabahah dalam Bank Syariah sesuai
dengan Fatwa MUI No. 04/DSN-MUI/2000 tentang Murabah; Bank dan nasabah harus
melakukan akad murabahah yang bebas riba; Barang yang diperjualbelikan tidak
diharamkan oleh syariah islam; Bank membiayai sebagian atau seluruh harga
pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya; Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri, misalnya jika pembelian secara utang; Bank kemudian menjual barang
tersebut kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli di tambah
keuntungannya, dalam hal ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok
barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan; Nasabah membayar harga
barang yang telah disepakati tersebut dengan jangka waktu tertentu yang telah
disepakati; Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad
tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah; Jika
bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual beli murabahab harus dilakukan setelah baeang, secara prinsip menjadi
milik bank.
b. Ba`i
Salam
Bai`as-Salam adalah
pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayarannya
dilakukan di muka. Prinsip yang harus yang dianut adalah harus diketahui
terlebih dahulu jenis, kualitas, dan jumlah barang dan hukum pembayaran harus
dalam bentuk uang, yang diatur di dalam Fatwa DSN No: 05/DSN-MUI/IV/2000
tentang salam.
c. Istishna`
Istishna adalah jual
beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni) dan
penjual (pambuat/shani). Menurut Fatwa DSN No: 6/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual
beli Istishna, ketentuan tentang pembayaran
: Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau manfaat; Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati;
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang. Ketentuan tentang barang
: Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang; Harus dapat
dijelaskan spesifikasnya; Penyerahan dilakukan kemudian; Waktu dan tempat
penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan; Pembeli tidak boleh
menjual barang sebelum menerimanya; tidak boleh menukar barang, kecuali dengan
barang yang sesuai kesepakatan; Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak
sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.
Perbedaan Murabahah,
Salam, dan Istishna adalah sebagai berikut :
Akad
|
Penyerahan Barang
|
Pembayaran
|
Murabahah
|
Barang diserahkan pada akad
|
Tunai
|
(Barang sudah ada pada akad)
|
Angsuran
|
|
|
|
|
Salam
|
Barang belum ada
|
Dibayar seluruhnya saat akad
|
(kemudian)
|
Ditandatangani
|
|
Diserahkan sekaligus
|
|
|
Istishna
|
Barang belum ada (kemudian)
|
di muka sesuai dengan tahapan
|
|
Pengerjaan
|
|
diserahkan bisa bertahap
|
setelah pengerjaan barang
|
2.2.1.2 Prinsip Sewa
(Ijarah)
Transaksi Ijarah
dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama
saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek
transaksinya. Bila pada jual-beli objek transaksinya adalah barang, pada ijarah
objek transaksinya adalah jasa. Sesuai dengan Fatwa DSN No 44 Tentang Biaya
Multi Jasa, ketentuan umum : Pembiayaan multi jasa hukumnya boleh (jaiz)
artikel baru menggunakan akad ijarah atau kafalah; Dalam hal LKS menggunakan
akad ijarah, maka harus mengikuti ketentuan semua yang ada dalam fatwa ijarah;
Dalam hal LKS menggunakan akad kafalah, maka harus mengikuti ketentuan semua
yang ada dalam fatwa kafalah; Dalam kedua pembiayaan multi jasa, LKS dapat
memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau biaya; Besar ujrah atau fee harus
disepakati dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk presentase.
2.2.1.3 Prinsip
Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembayaran
syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil adalah sebegai berikut:
a.
Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah (syirkah
atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari bagi hasil, di
mana dua orang atau lebih mengumpulkan dana pembiayaan dan manajemen usaha,
dengan proporsi bisa sama atau tidak. Musyarakah adalah akad kerja sama antara
dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan
kesepakatan, sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Syirkah
dibedakan menjadi berikut ini : Syirkah Al-Milk (waris/hibah), Syirkah Al-Uqud
(syirkah abdan,wujuh,mudharabah,inan,mufawadah). Di dalam dewan syariah diatur
Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Musyarakah.
Dalam praktik perbankan
al-Musyarakah diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek. Nasabah yang dibayai
dengan bank sama-sama menyediakan harta dana untuk melaksanakan proyek
tersebut.
2.2.1.4 Pembiayaan
Mudharabah
Mudharabah adalah
kerjasama antara dua atau lebih dari pihak pemilik mal (shohibul mal), yang
mempercayakan sejumlah modal dengan kontribusi seratus persen modal dari
pemilik modal kepada pengelola (mudharib). Berdasarkan fatwa DSN-MUI No.
07/DSN-MUI/IV/2000, bank sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat
mudharabah kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai,
atau menyalahi perjanjian. Dalam fatwa tersebut dijelaskan ketentuan yang
menyatakan bahwa keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai
kelebihan modal. Dijelasakan juga bahwa pada prinsipnya, dalam pembiayan
mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan,
bank dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya
dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap
hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad mudharabah merupakan pandangan
yang sesuai dengan syariah dan merupakan padangan yang sesuai dengan syariah
dan merupakan persyaratan yang diperbolehkan, yaitu bank bank memberikan
persyaratan agar nasabah meneyrtakan jaminan.
2.2.1.5 Al-Muza`arah
Al-Muza`arah merupakan
kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan kepada penggarap untuk
ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
Dalam dunia perbankan kasus ini di aplikasikan untuk pembiayaan bidang
platation atas dasar bagi hasil panen.
Pemilik lahan dalam hal
ini menyediakan lahan, benih, pupuk. Sedangkan penggarap menyediakan keahlian,
tenaga, dan waktu. Keuntungan diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang
telah disepakati.
2.2.1.6 Al-Musaqah
Al-Musaqah adalah
bagian dari al-muza`arah, yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan dalam menggunakan dana dan peralatan mereka
sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari presentase hasil pertanian . jadi tetap
dalam kontek adalah kerja sama pengolahaan pertanian antara pemilik lahan
dengan penggarap.
2.2.2
Produk
Penghimpunan Dana Bank Syariah
2.2.2.1
Prinsip Wadiah
Prinsip wadiah yang
diterapkan adalah wadi`ah yad dhamanah yang diterapkan produk rekening giro.
Wadiah dhamanah berbeda dengan wadi`ah amanah. Dalam wadi`ah amanah pada
prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sementara
itu, hal wadi`ah dhamanah, pihak yang dititpi (bank) bertanggung jawab atas
keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
Karena
wadiah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad
dhamanah, implikasi hukumnya sama dengan qard, dimanan nasabah bertindak
sebagai yang meminjamkan uang , dan bank bertindak sebagai yang dipinjami.
Adapun produk dalam prinsip wadiah adalah :
a.
Giro wadiah
b.
Tabungan mudharabah
c.
Tabungan haji mudharabah
d.
Deposito investasi mudharabah
2.2.3
Jasa-Jasa
Bank Lainnya
2.2.3.1
Hiwalah (alih utang-piutang)
Tujuan fasilitas
hiwalah adalah untuk membantu suplier mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang. Untuk mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu
melakukan penelitian atas kemampuan kemampuan pihak yang berhutang dan
kebenaran transaksi antara pemindahan piutang dengan yang berhutang. Katakanlah
seorang supplier bahan bangunan menjual barang-barang nya kepada pemilik proyek
yang akan di bayar dua bulan kemudian. Karena, kebutuhan supplier akan
liquditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangny. Banka akan
menerima pembayaran dari pihak pemillik proyek.
2.2.3.2 Rahn ( Gadai)
Tujuan akad rahn adalah
untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan
pembiayaan.
Barang yang akan
digadaikan wajib memenuhi kriteria :
a. Milik
nasabah sendiri
b. Jelas
ukuran, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar
c. Dapat
dikuasi namin tidak boleh dimanfaatkan oleh bank
Atas izin bank, nasabah
dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai
dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau
cacat, nasabah harus bertanggung jawab.
Apabila nasabah
wanprestasi, bank dapat melakuan penjualan barang yang digadaikan atas perintah
hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut atas izin bank.
Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, kelebihan tersebutt menjadi
milik nasabah. Dalam hal ini hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibanya,
maka nasabah harus menutupi kekurangannya.
2.2.3.3 Qardh
Qardh adalah pinjaman
uang, aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
a. Sebagai
pinjaman talangan haji
b. Sebagai
pinjaman tunai
c. Sebagai
pinjaman kepada pengusaha kecil
d. Sebagai
pinjaman kepada pengurus bank.
2.2.3.4 Wakalah
Wakalah dalam aplikasi
perbankan terjadi nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk meakili dirinya
melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti[6]
pembukaan L/C import syariah, L/C export syariah, pembiayaan rekening koran syariah,
inkaso, dan transfer uang, . Wakalah diatur dalam Fatwa DSN N0. 10/DSN-MUI/2000
atas waqalah.
2.2.3.5 Kafalah
Garansi bank dapat
diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.
Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk mendapatkan sejumlah dana untuk fasilitas
ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadiah.
Untuk jasa-jasa ini, bank mendapatkan pengganti biaya jasa atas jasa yang
diberikan. Kafalah diatu dalam Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang
kafalah.
2.2.3.6 Sharf
( Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya jual
beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak
sejenis ini , penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank
mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
2.2.3.7 Ijarah
(sewa)
Jenis kegiatan ijarah
antara lain penyewaan kontak simpanan (safe deposit box), dan jasa tata laksana
administrasi dokumen (custodia). Bank mendapat imbalan dari sewa tersebut.
Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara bank
sebagi oemberi sewa (mu`ajjir) dengan penyewa (musta`jir) tanpa di ikuti
pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. Landasan syariah dari ijarah adalah
Al-Qur`an, surat Al-Baqarah: 233 : “ Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, tidak dosa bagimu, apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertaqwalah kau kepada allah dan ketahuilah bawa allah maha melihat apa
yang kamu kerjakan”. Ijarah juga di atur dalam Fatwa DSN No. 09/DSN-MUI/2000
tentang Ijarah.
Dalam kegiatan iajrah
juga dikenal istilah IMBT (Ijarah Muntahiyal Bittamlik) adalah akad penyaluran
dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), kepada perusahaan pemberi sewa (mu`ajjir) dari
penyewa (musta`jir) disertai opsi pemindahan hak milik ats barang yang di sewa
kepada penyewa setelah selesai sewa.
2.3
Perkembangan
Bank Syariah
Di indonesia, bank syariah
yang pertama kali didirikan pada tahun 1992 adalah bank Muamalah Indonesia.
Walaupun perkembangannya agak terlambat bila di bandingkan dengan negara-negara
muslim lainnya, perbankan syariah di indonesia akan terus berkembang. Bila pada
periode tahun 1992-1998 hanya ada 1 unit Bank syariah, maka pada tahun 2005,
jumlah bank syariah di indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, tahun 2004
bertambah menjadi 88 buah, terakhir menurut data ojk pada tahun 20116 jumlah
bank syariah di indonesia mencapai 166 buah. Ini menunjukkan bahwa bank
indonesia mampu bersaing dengan bank-bank konvensional, dan semakin tahun
mengallami kemajuan yang lumayan pesat.
Berdasarkan data Bank
Indonesia, prospek perbankan syariah pada tahun 2016 diperkirakan cukup baik.
Industri perbankan syariah diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat
pertumbuhan yang cukup tinggi. Jika pada posisi november 2004, volume usaha
perbankan syariah telah mencapai 14,0 triliun rupiah, dengan tingkat
pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2004 sebesar 88,6 %, volume usaha perbankan
syariah di akhir tahun 2005 diperkirakan akan mencapai sekitar 24 triliun
rupiah. Dengan volume tersebut diperkirakan industri perbankan syariah akan
mencapai pangsa sebesar 1,8% dari industri perbankan nasional dibandingkan
sebesar 1,1% pada akhir tahun 2004. Pertumbuhan volume usaha perbankan syariah
tersebut di topang oleh rencana pembukan unit usaha syariah yang baru dan
pembukaan jaringan kantor yang lebih luas. Dana pihak ketiga mencaapai 20
triliun rupiah dengan jumlah pembiayaan sekitar 21 triliun rupiah di akhir
tahun 2005.
Sementara iyu, riset
yang dilakukan oleh Karim Business Consulting pada tahun 2005 menunjukkan bahwa
total aset bank syariah di Indonesia diperkirakan akan lebih besar daripada apa
yang diproyeksikan oleh Bank Indonesia. Dengan menggunakan KARIM Growth Model,
total aset bank syariah di Indonesia diproyeksikan akan mencapai antara 1,92 %
sampai 2,31 % dari industri perbankan nasional. Adapun jurnal yang kami dpat di situs website
Ojk mengenai aset serta jumlah bank
syariah pada tahun terbaru dan perbandingan[8]
perkembangan aset serta jumlah bank konvensional akan kami sajikan di halaman selanjutnya.
Pertumbuhan aset di
bank syariah di Indonesia akan sangat mengesankan. Tumbuh-kembangnya aset bank
syariah ini di karenakan semakin baiknya kepastian di sisi regulasi serta
berkembangnya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syariah.
Di indonesia,
perkembangan bank syariah dapat di uraikan sebagai berikut :
a.
1980 :
muncul ide konsep lembaga keuangan syariah, uji coba BMT salman di Bandung dan
Koperasi Ridho Gusti.
b.
1990 :
lokakarya MUI dimana para peserta sepakat mendirikan bank syariah di Indonesia.
c.
1992 :
pada tanggal 1 mei 1992 bank syariah pertama bernama Bank Muamalah Indonesia
mulai beroperasi.
d.
1992 :
kemunculan BMI ini kemudian diikuti dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan yang mengakomodasi perbankan dengan prinsip bagi hasil bank umum
maupun BPRS.
e.
1998 :
keluar UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 yang mengakui
keberadaan bank syariah dan bank konvensional serta memperkenankan bank
konvensional membuka kantor cabang syariah.
f.
1999 :
keluar UU No. 23 tahun 1999 tentang bank indonesia yang mengakomodasi kebijakan
moneter berdasarkan prinsip syariah, di mana BI bertanggung jawab terhadap
pengaturan dan pengawasan bank komersil termasuk bakn syariah. BI dapat
menetapkan kebijakan moneter dengan menggunakan prinsip syariah. Pada tahun ini
di buka kantor cabang syariah untuk pertama kali.
g.
2000 :
BI mengeluarkan regulasi oprasional dan kelembagaan bank syariah, di mana BI
menetapkan pperaturan kelembagaan perbankan syariah. Perkembangan pasar uang
antar bank syariah (PUAS) dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) sebagai
instrumen pasar uang syariah.
h.
2001 :
pendirian unti kerja biro perbankan syariah di Indonesia untuk menangani
perbankan syariah.
i.
2002 :
peraturan BI no. 4/1/2002 mengenai pengenalan pembuktian bersih cabang syariah
yang merupakan penyempurnaan jaringan kantor cabang syariah.
j.
2004 :
keluar UU No. 3 tahun 2004 tentang peubahan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang makin mempertegas penetapan kebijakan moneter dengan yang
dilakukan oleh BI dapat dilakukan dengan prinsip syariah, belakangan UU No. 23
tahun 1999 diubah dengan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 2
tahun 2008. Di samping itu BI juga menyiapkan peraturan standarisasi akad,
tingkat kesehatan, dan Lembga Ppenjamin Simpanan. Di tahun ini juga terjadi
perubahan Biro Perbankan Syariah menjadi Direktorat perbankan syariah di Bank
Indonesia.
k.
2005 :
di era UU No. 10/1998 secara teknis mengenai produk mengacu pada PBI No.
7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dana dan Peyaluran Dana Bagi Bank yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang kemudian sudah
diganti dengan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah.
l.
2006 :
Pemberian layanan syariah juga semakin dipermudah dengan dikenalkannya konsep
office chanelling, yakni semacam counter layanan syariah yang terdapat di
kantor cabang/kantor cabang pembantu bank konvensional yang sudah memiliki UUS.
Hal demikian ditemukan dalam PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan
Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bnak Umum Konvensioanal. Produk
Bank Syariah terdiri dari Produk Penghimpunan Dana (funding), produk penyaluran
dana (lending), jasa (services), dan produk di bidang sosial.
m. 2008 : pada tanggal 16 juli 2008 UU No. 21
tahun 2008 tentang perbankan syariah disahkan yang memberikan landasan hukum
industri perbankan syariah nasional dan diharapkan mendorong perkembangan bank
syariah yang selama lima tahun terakhir asetnya tumbuh lebih dari 65% per
tahun, namun pasarnya (market share) secara nasional masih di bawah 5%.
Undang-undang ini mengatur secara khusus mengenai perbankan syariah, baik
secara keembagaan maupun kegiatan usaha. Beberapa lembaga hukum baru dikenakan
UU No. 21 tahun 2008, antara lain menyangkut pemisahan (spin off) UUS baik
secara sukarela maupun wajib komite Perbankan Syariah. Terdapat beberapa
peraturan Bank Indonesia (PBI) yang diamantkan UU No. 21 tahun 2008.
n. 2011 : Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
yang secara bertahap beralih menjadi pengatur dan pengawas Lembga Keuangan di
Indonesia. Untuk industri pasar modal dan industri keuangan nonbank pengalihan
dilakukan pada tangga 31 Desember 2012, sedangkan untuk industri perbakan pada
tanggal 31 Desember 2013, untuk Lembaga Keuangan Mikro pada tahun 2015.
o. 2015
: Menurut Statistik Perbankan Syariah OJK pertahun juni 2015, ada 12 bank umum
syariah dan 22 UUS di Indonesia dengan total kantor sebanyak 2.460 unit,
terdiri dari 593 kantor cabang, 1.622 kantor cabang pembantu dan sebanyak 245
kantor kas, sementara, Uus didukung oleh 1.900 layanan syariah. Total aset
mencapai Rp. 272,3 triliun.
p. 2016
: Menurut Statisrik Perbankan Syariah OJK per desember 2016 ada 13 bank umum
syariah dan 21 UUS di Indonesia dengan total jaringan kantor sebanyak 1.869 ,
kantor cabang pembantu1.207 dan 473 kantor cabang. Total aset mencapai 356.504
triliun.
tabel 2. PERKEMBANGAN
TOTAL ASET
|
|
||||
|
|
|
|
|
|
Indikator
|
2014
|
2015
|
2016
|
2017
|
|
Jan
|
|||||
Bank Umum Syariah
|
|
|
|
|
|
-
|
Total Aset
|
204.961
|
213.423
|
254.184
|
248.819
|
-
|
Jumlah Bank
|
12
|
12
|
13
|
13
|
-
|
Jumlah Kantor
|
2.163
|
1.990
|
1.869
|
1.681
|
|
- KC
|
447
|
450
|
473
|
474
|
|
- KCP
|
1.511
|
1.340
|
1.207
|
1.207
|
|
- KK
|
205
|
200
|
189
|
192
|
-
|
ATM
|
3.350
|
3.571
|
3.127
|
3.142
|
-
|
Jumlah
Tenaga Kerja
|
41.393
|
51.413
|
51.110
|
51.168
|
Unit Usaha Syariah
|
|
|
|
|
|
-
|
Total Aset
|
67.383
|
82.839
|
102.320
|
95.470
|
-
|
Jumlah Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS
|
22
|
22
|
21
|
21
|
-
|
Jumlah Kantor UUS
|
320
|
311
|
332
|
285
|
|
- KC
|
138
|
138
|
149
|
150
|
|
- KCP
|
140
|
129
|
135
|
135
|
|
- KK
|
42
|
44
|
48
|
48
|
-
|
ATM
|
132
|
145
|
132
|
133
|
-
|
Jumlah
Tenaga Kerja
|
4.425
|
4.403
|
4.487
|
4.555
|
Total Aset
BUS dan UUS
|
|
272.343
|
296.262
|
356.504
|
344.290
|
Total Kantor
BUS dan UUS
|
|
2.483
|
2.301
|
34
|
1.966
|
Total ATM
BUS dan UUS
|
3.482
|
3.716
|
3.259
|
3.275
|
|
Total
Tenaga Kerja BUS dan UUS
|
45.818
|
55.816
|
55.597
|
55.597
|
|
|
|
|
|
|
|
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
|
|
|
|
|
|
-
|
Jumlah Bank
|
163
|
163
|
166
|
166
|
-
|
Jumlah Kantor
|
439
|
446
|
453
|
451
|
-
|
Jumlah Tenaga Kerja
|
4.704
|
5.102
|
4.372
|
4.478
|
Bila
dibandingkan dengan dengan pekembangan bank konvensional
Kinerja Bank Umum Konvensional
|
||||||
Keterangan
|
2014
|
2015
|
2016
|
2017
|
||
Des
|
Jan
|
|||||
Rasio Pemenuhan Kecukupan Modal Minimum (%)
|
19,57
|
21,39
|
22,93
|
23,21
|
||
|
-
|
Modal
|
754.174
|
914.657
|
1.052.597
|
1.073.127
|
|
-
|
ATMR
|
3.854.234
|
4.276.555
|
4.589.611
|
4.623.547
|
Rasio Modal Inti terhadap ATMR (%)
|
18,01
|
19,00
|
21,19
|
21,37
|
||
|
-
|
Modal Inti (Tier I)
|
694.198
|
812.590
|
972.350
|
988.255
|
|
-
|
ATMR
|
3.854.234
|
4.276.555
|
4.589.611
|
4.623.547
|
Return On Assets Ratio (%)
|
2,85
|
2,32
|
2,23
|
2,46
|
||
|
-
|
Laba sebelum pajak
|
142.769
|
132.601
|
136.048
|
158.770
|
|
-
|
Rata-rata total aset
|
5.004.089
|
5.703.813
|
6.106.959
|
6.458.310
|
Biaya Operasional thdp Pendapatan Operasional (%)
|
76,29
|
81,49
|
82,22
|
83,94
|
||
|
-
|
Biaya Operasional
|
446.217
|
569.141
|
624.173
|
70.015
|
|
-
|
Pendapatan Operasional
|
584.887
|
698.404
|
759.146
|
83.413
|
Net Interest Margin Ratio (%)
|
4,23
|
5,39
|
5,63
|
5,39
|
||
|
-
|
Pendapatan bunga bersih
|
260.940
|
293.824
|
329.913
|
333.768
|
|
-
|
Rata-rata total aset produktif
|
6.161.761
|
5.449.642
|
5.854.786
|
6.191.395
|
Loan to Deposits Ratio (%)
|
89,42
|
92,11
|
90,70
|
89,59
|
||
|
-
|
Total Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank
|
3.526.364
|
3.903.936
|
4.199.713
|
4.138.608
|
|
-
|
Total Dana Pihak Ketiga
|
3.943.697
|
4.238.349
|
4.630.352
|
4.619.553
|
Rasio Aset Likuid (%)
|
16,24
|
16,70
|
17,50
|
17,81
|
||
|
-
|
Aset Likuid Primer
|
686.023
|
736.720
|
837.433
|
854.417
|
|
-
|
Aset Likuid Sekunder
|
192.598
|
251.623
|
296.098
|
295.926
|
|
-
|
Total
Aset
|
5.410.098
|
5.919.390
|
6.475.602
|
6.458.310
|
Dapat
dilihat dari jurnal tersebut bahwa perbankan syariah kenaikan asetnya semakin
tahun semakin naik meskipun perubahannya hanya sedikit, hal ini membuktikan
perbankan syariah lebih tahan terhadap gejala-gejala kritis ekonomi di
bandingkan dengan bank umum konvensional. Seharusnya, pemerintah harus lebih
memperhatikan bank syariah.
2.4
Permasalahan
Bank Syariah
Perkembangan perbankan
syariah ini tentunya juga harus didukung oleh sumber daya insani yang memadai,
baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun, realitas yang ada
menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya insani yang selama ini terlibat di
institusi syariah tidak memiliki pengalaman akademis maupun peakris dalam
Islamic Banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikan mempengaruhi produktivitas
dan profesionalime perbankan syariah itu sendiri. Inilah yang memang harus
mendapatkan perhatian dari kita semua, yakni mencetak sumber daya insani yang
mampu mengalkan ekonomi syariah di semua lini karena sistem yang baik tidak
mungkin dapat berjalan bila tidak didukung oleh sumber saya insani yang baik
pula. Adapun tantangan yang di hadapi oleh perbankan syariah begitu beragam
pada berbagai aspek sebagai berikut :
a. Paradigma
berfikir masyarakat sebagai pengguna maupun para pelaku dan rgulator perbankan
syariah masih cenderung konvensional. Pandangan yang masih berfikir menggunakan
kerangka dan parameter konvensional dalam melihat perbankan syariah memiliki
implikasi yang negtif terhadap perkembangan industri.
b. Perbankan
syariah masih dikembangkan secara parsial baik pada tingkat kebijakan dan
rgulasi, kelembagaan dan oprasional serta sumber daya manusia dan sistem
pendidikan. Sehingga, perkembangannya jauh dari angka potensinya, bahkanpada
beberapa hal menjadi kontra-produktif pada reputasi Islam atau syariah sebagai
sistem dan keyakinan. Oleh sebab itu, dibutuhkan sinergi kebijakan
pengembangan, pengembangan produk dan oprasional yang terpadu serta sosialisai
dan edukasi serentak dan masif.
c. Kurangnya
kerja sama antara bank syariah dengan lembaga keuangan mikro syariah karena
lembaga tersebut kurang dipercaya oleh bank[9]
syariah. Kerja sama keduanya dapat secara maksimal melayani sektor UMK yang
selama ini mendominasi struktur ekonomi nasional.
d. Sinergi
yang belum terwujud pada tingkat sektoral misalnya sektor keuangan syariah yang
bersifat komersial (perbankan dan non bank) dengan sektor keuangan syariah
(lembaga zakat,waqaf,dan infak-sadaqah). Keterpaduannya dapat membuat keuangan
syariah secara komprehetif memenuhi kebutuhan jasa keuangan baik sektor usaha
besar, menengah, kecil dan mikro maupun masyarakat yang miskin (poorest of the
poor).
e. Belum
adanya kebijakan dari pemerintah atau kementrian yang secara tegas
memperlihatkan keberpihakan dalam mengembangkan industri keuangan syariah meski
telah terbukti memiliki ketahanan dlam menghadapi krisis.
f. Ketentuan
perpajakan yang masih dimungkinkan terjadinya multitafsir, mengingat ketentuan
perpajakan tidak menyebutkan jenis-jenis akad yang di gunakan dalalm transaksi
keuangan syariah. Contohnya dalam penjelasan pasal 1A ayat 1 huruf h UU No.42
tahun 2009 tentang PPN, yang diberikan contoh hanya transaksi murabahah saja,
sehingga timbul pertanyaan terkait dengan skema prinsip jual beli yang lain
seperti salam dan istishna.
g. Regulasi
keuangan atau perbankan syariah belum sepenuhnya mengakomodasi atau memberikan
kesempatan masyarakat dhuafa dapat memiliki usaha sebagai sumber penghasilan
yang layak, mencukupi dan berkelanjutan.
h. Peraturan
keuangan dan perbankan syariah belum dipersepsikan oleh masyarakat sebagai peraturan
yang meyakinkan dan menjamin bahwa industri keuangan dan perbankan syariah
sudah memberikan rasa aman baik secara syariah (memenuhi prinsip syariah),
regulasi (good gevernance) maupun secara sosial (mengakomodasi atau membantu
masyarakat dhuafa).
i.
Spin-off sebagai imlpikasi dari
kebijakan industri perbankan syariah yang tercantum dalam undang-undang No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menunjukkan kecenderungan yang
belumoptimal. Dukungan pada bank syariah hasil spin-off dari bank induknya masih
belum optimal.
j.
Kemampuan yang terbatas dari masyarakat
usaha sebagai nasabah dan praktisi perbankan yang menyediakan produk dalam
mempratikkan produk berakad bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), seperti
kemampuan membuat pembukuan yang akurat dan transparan sebagai syarat dalam
taransaksi bagi hasil. Atau setidaknya akad bagi hasil ini memerlukan tingkat saling percaya yang
lebih antara nasabah dan lembaga keuangan.
k. Dominanya
produk berakad jual beli mengesankan produk perbankan syariah tidak jauh berbeda
dengan produk bank konvensional, dimana margin jual beli( misalnya dalam
murabahah) disamakan dengan bunga. Kesan ini menyebabkan sulit bagi bank
syariah memasarkan produk syariah bahkan terbentuknya presepsi di masyarakat
produk perbankan syariah lebih mahal dari konvensional.
l.
Keterbatasan dalam pembukuan dan
penatausahaaan membuat konsep bagi hasil yang diterapkan bank syariah tidak
sepenuhnya profit-loss sharing, tetapi lebih pada reveneu sharing.
m. Prosedur
penerbitan produk baru dalam perbankan syariah prosesnya relatif panjang karena
membutuhkan proses dari opini hukum DPS, fatwa DSN dan izin dari otoritas.
Semetara itu, proses yang sama di bank konvensional lebih mudah dan praktis.
Hal ini menghambat motivasi pelaku industri untuk melakukan inovasi produk.
n. Birokrasi
mendapatkan akses pembiayaan dari embaga keuangan khususnya perbankan syariah
yang mensyaratkan jsanagt memberatkan masyarakat usaha mikro kecil. Oleh sebeb
itu, dibutuhkan mekanisme[10]
yang cukup memadai yang memudahkan masyarakat UMK dapat mengakses produk
pembiayaan perbankan syariah.
o. Prinsip
akad dan mekanisme yang berbeda-berbeda dari produk perbankan syariah antar
negara yang memiliki industri keeuangan dan perbankan syariah menghambat
terjadinya integrasi pasar yang berpotensi memperbesar volume industri.
p. Keterbatasan
sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun kulaitas masih menjadi masalah
utama bagi industri keuangan dan perbankan syariah nasional. Pertumbuhan
industri yang tidak diiringi dengan penyediaan SDM yang memadai pada akhirnya
akan membuat perkembangannya terhambat
q. Sistem
pendidikan saat ini juga memiliki keterbatasan dalam mencetak SDM yang
dibutuhkan industri, karena lembaga yang memiliki jurusan atau program studi
keuangan dan perbankan syariah jumlahnya terbatas, tenaga pendidik yang
memiliki kompetensi pada bidang tersebut juga masih terbatas dan kurikulumnya
pun belum mapan.
r.
Kompetensi pegawai lembaga ekuangan dan
perbankan syariah yang ada saat ini ada, sera pegawai lembaga –lembaga terkait
seperti otoritas, konsultan, hakim, notaris, dan advokat, masih relatif rendah.
Kondisi ini tentu menghambat perkembangan industri.
s. Dewan
Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai lembaga otoritas
fatwa yang menjadi rujukan bagi industri keuangan dan perbankan syariah di
indonesia, masih terkendala pada keterbatasan dana oprasional. Sebagai lembaga yang
nirlaba, maka DSN dihadapkan pada masalah dana oprasional. Namun, pemenuhan
dana tersebut jangan sampai mengganggu independensi dan kredebilitas DSN sebagai
otoritas fatwa.
t.
Secara kelembagaan DSN dan DPS
masing-masing memiliki wilayah tugas dan fungsi. Namun karena keterbatasan
jumlah pakar yang memiliki kompetensi dalam syariah mengakibatkan adanya status
ganda dari satu pakar , dimana yang bersangkutan merangkap jabatan, yaitu
sebagai otoritas fatwa DSN dan sebagaiauditor syariah di DPS. Hal ini
memunculkan presepsi dari masyarakat kurang ppercaya pada profesionalisme
anggota DSN dalam pembuatan fatwa serta produk-produk keuangan syariah. Isu ini
juga menjadi masalah tingkat internasional.
u. Kecenderungan
integrasi pasar pada tingkat regional dan internasional berimplikasi pada
kecenderungan menyamakan definisi pada fatwa, produk dan oprasional di industri
keuangan syariah yang berpotensi merugikan kepentingan ekonomi nasional.
v. Masihh
terdapat persepsi negatif di masyarakat seperti keraguan dan ketidakpercayaan
pada tingkat kesyarihan dari produk damn operasinal lembaga keuangan syariah.
Di samping itu, masiih banyak keluhan pada pelayanan yang tidak efisien dan
nyaman serta biaya atau harga yang lebih mahal dibandingkan dengan lembaga
keuangan konvensional.
w. Masih
minimnya program-program sosialisasi tentang lembaga keuangan syariah dan
sosialisasi belum dilakukan secara masif pada skala besar dan luas. Sosialisasi
dan edukasi belum menjangkau semua lapisan masyarakat, khususnya tokoh
masyarakat, ulama dan akademisi. Sehingga banyak uangkapan yang disampaikan
oleh tokoh ataupun ulama sebagai panutan masyarakat, cenderung kontraproduktif
dengan upaya pengembangan industri keuangan syariah di tanah air.
2.5
Analis
Dari uraian
kita sepakati bersama bahwa perbankan islam adalah lembaga keuangan yang
menjalankan aktivitas perbankan konvensional murni yang tidak sama sekali ada
kaitannya dengan kegiatan keagamaan yang akan menimbulkan kontradiksi apabila
terjadi sebuah kesalahan, maka agama islam termasuk di dalamnya umat islam itu
akan tersalahkan.
Namun,dalam
kegiatannnya perbankan islam tidak boleh menyimpang dari landasan dan
prinsip-prinsip islam itu sendiri, karena timbulnya perbankan islam adalah
untuk menyempurnakan dari sistem sosialis dan konvensional. Yang bukan saja
berorientasi pada profitabilitas tapi juga bagaimana perbankan islam itu sendiri
mengedepankan etika dan moral dalam berbisnis di dunia perbankan yang[11]
dapat menciptakan sebuah kegiatan perbankan yang efisien dan efektip (bebas
dari Riba, Gharar, Maysir, dll) sehingga dapat berimplikasi pada pembangunan
ekonomi, kesejahteraan rakyat, menciptakan pasar ekonomi yang sehat dan
menghilangkan paradigma dzalim.
Peranan perbankan
syariah dalam perekonomian relatif masih sangat kecil dengan pelaku tunggal.
Ada beberapa kendala pengembangan perbankan syariah adalah : peraturan
perbankan yang belum berlaku sepenuhnya mengakomodasi oprasional bank syariah,
pemahaman masyarakat yang belum tepat terhadap kegiatan oprasional bank
syariah. Hal ini disebabkan oleh padandangan yang belum tegas mengenai bunga
dari para ulama, dan kurangnya perhatian ulama atas kegiatan ekonomi, frekuensi
sosialisasi belum dilakukan secara optimal, jaringan kantor bank syariah masih
terbatas, sumber daya manusia yang memiliki keahlian mengenai bank syariah
masih terbatas, persaingan produk perbankan konvensional yang ketat mempersulit
bank syariah segmen pasar.
Strategi pengembangan
perbankan syariah di arahkan untuk meningkatkan kompetensi usaha yang sejajar
dengan sistem perbankan konvensional dan dilakukan secara komprehensif dengan
mengacu pada analisis kekuatan dan kelemahan perbankan syariah. Upaya
pemerintah untuk merealisasikan hal tersebut ditemput melalui langkah :
penyempurnaan ketentuan, pengembangan jariangan bank syariah, pengembangan
piranti moneter, pelaksanaan kegiatan sosialisasi perbankan syariah.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kegiatan ekonomi
sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw, dimana dijelaskan kegiatan ekonomi adalah
keharusan untuk melanjutkan kelangsungan hidup, juga menjadi penyambung
hubungan antara manusia dengan manusia melalui kegiatan bermuamalah. Kegiatan
ekonomi tidak terlepas dari lembaga keuangan baik bank maupun non bank syariah
ataupun konvensional. Perbankan syariah atau lemabaga keuangan syariah non bank
di awasi oleh Dewan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional yang mengatur
tentang fatwa-fatwa.
Lembaga
keuangan bank syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1992 dengan
produk-produk yang ditawarkan seperti penyaluran dana : murabahah, salam
,istishna,musyarakah,mudharabah,ijarah, dll. Penghimpunan dana meliputi :
tabungan wadiah, giro wadiah, dll.
Adapun jasa perbankan syariah yang lain yaitu : hiwalah, rahn, qardh, wakalah,
kafalah, sharf.
Perkembangan
perbankan syariah sejak awal hadir di tahun 1992 sampai saat ini sangatlah
memberikan prospek yang baik untuk keungan indonesia, karena lembaga keuangan
syariah lebih tahan dengan krisis. Namun, masih adanya permasalahan baik dari
kalangan masyarakat sampai pemerintah yang belum memberikan dukungan serta
kepercayaan nya kepada lembaga-lembaga syariah. Hal itu tidaklah menjadi
penghambat bagi majunya lembaga-lembaga syariah yang ada di indonesia, justru
hal tersebut menjadi tantangan dan PR untuk lembaga keuangan syariah,
pemerintah, serta lapisan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Anialisis fiqh dan
keuangan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013
-
Darsono, Dkk, Perbankan Sayriah Di Indonesia ( Kelembagaan
dan Kebijakan serta Tantangan ke Depan), Jakarta: Rajawali Pers, 2017
-
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012
-
Muhammad, Manajemen Dana, Jakarta: Rajawali Pers,
2014
-
Muljono Djoko, Buku Pintar Akuntansi Perbankan dan Lemabaga
Keuangan Syariah, Yogyakarta: Andi, 2014
-
Soemitra Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,
Jakarta: Kencana, 2009
-
Pandia Frianto, Dkk, Lembaga Keuangan, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2015
[1]
Adiwarman A. Karim, Bank Islma Anialisis fiqh dan
keuangan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013 (hlm:18)
Kasmir, Bank dan
Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Rajawali Pers, 2012 (hlm:166)
[2] Ibid:97
Pandia
Frianto, Dkk, Lembaga Keuangan,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2015 (hlm:191)
Muljono Djoko, Buku
Pintar Akuntansi Perbankan dan Lemabaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Andi,
2014 (hlm:10)
[3]
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Anialisis fiqh dan
keuangan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013 (hlm:98)
[4] Ibid:101
[5] Ibid:102
Kasmir, Bank dan
Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Rajawali Pers, 2012 (hlm:171)
Ibid: 112
[6]
Muljono Djoko, Buku Pintar Akuntansi Perbankan dan Lemabaga Keuangan Syariah,
Yogyakarta: Andi, 2014 (hlm:245)
[8] Adiwarman A. Karim, Bank
Islam Anialisis fiqh dan keuangan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013(hlm:25)
Soemitra Andri, Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2009 (hlm:58)
[9] Darsono, Dkk, Perbankan
Sayriah Di Indonesia ( Kelembagaan dan Kebijakan serta Tantangan ke Depan),
Jakarta: Rajawali Pers, 2017 (hlm:383)
[10] Ibid: 387
[11]
Muhammad, Manajemen
Dana, Jakarta: Rajawali Pers, 2014 (hlm:18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar